Friday, July 8, 2016

ASWAJA SEJARAH DAN AJARANNYA


Antroposentrisasi Aswaja Sebagai Manhaj Al-Fikrin Munuju Masyarakat Ramah Kultur dan Berpendidikan
Oleh: Achmad Junaidi

Secara definitif aswaja memiliki makna yang yang mudah untuk dipahamai, yaitu kelompok yang dalam kesehariannya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh rasul dan perilaku ibadah baik ritual atau sosial yang dicontohkan oleh para sahabat. Namun karena kompleksitas dan globalnya ajaran yang ada, membuat makna aswaja menjadi universal dan membuka diri pada setiap kelompok manapun untuk mengaku bahwa ia adalah aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Pada dasarnya terminologi aswaja pada awal penyebaran Islam tidak begitu    banyak mendapat perhatian para pemikir islam, mereka (para tokoh fiqih, tauhid dan penguasa Islam) lebih banyak membuat kelompok agama dalam bentuk kelompok politik sebagai imbas tragedi tahkim (arbitrase pemutusan hukum siapa yang berhak menjadi khalifah antara Ali dan Muawiyah).
Lambat laun, kemudian kelompok-kelompok politik ini pun tidak jarang mamakai terminologi agama dan hadist sebagai instrumen untuk saling memperebutkan kekuasaan, tidak jarang diantara mereka saling mengkafirkan dan berani memakai hadist dha’aif bahkan palsu untuk mengokohkan kekuatan politik mereka (sebagaimana yang dilakukan kelompok syi’ah pengikut Ali yang mengeluarkan hadist bahwa Allah salah menurunkan wahyu kepada Muhammad sesungguhnya wahyu itu pantas untuk Ali yang cerdas).
Disisi lain ada kelompok pinggiran (kelompok sufi yang tidak ikut konflik politik) dan selalu intens mengadakan pengkajian dan diskusi keagamaan secara serius dan menjadi kelompok filsafat ketuhanan (teologi), diantara mereka adalah kelompok nisbiyyah (kelompok yang menyamakan tuhan dengan mahluk), qadariyah (kelompok yang berpendapat bahwa seluruh totalitas kehidupan manusia ada ditangan tuhan) serta kelompok jabariyah (yaitu kelompok yang berpendapat terlepasnya kekuasaan tuhan akan tindak perilaku kehidupan manusia) dari ketiga golongan ini muncul satu kelompok pemikiran rasional yang kemudian mashur dan besar yaitu kelompok Mu’tazilah kelompok yang lebih mengedepankan akal dari pada wahyu yang di pelopori oleh Washil bin Ato’ dan Al-juba’i.
Kelompok mu’tazilah ini dapat mengambil hati para penguasa Bani Umayah karena kebrilianan gagasan dan intelektual mereka, namun beberapa gagasan rasional yang mereka keluarkan acapkali melebihi batas hingga akhirnya menyebabkan Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324 H/ 873-935 M) seorang santri al-jubai’i dan penganut mu’tazilah menyatakan keluar dan membuat kelompok baru, yaitu kelompok yang mengikuti hadit dan sunah rasul serta jejak para sahabat. Atas petunjuk rasul yang menemuinya lewat mimpi berturut selama tiga kali ia akhirnya menyatakan keluar dari mu’tazilah dan naik keatas mimbar dan berpendapat bahwa alqur’an adalah kalamullah dan mahluk:
“Saya dulu mengatakan al-qur’an adalah mahluk, Allah tidak dapat dilihat dengan pandangan mata orang mukmin diakhirat dan perbuatan jahat adalah perbuatan saya sendiri, saya lemparkan keyakinan lama saya sebagaimana saya lemparkan baju ini (isyarat pada jubahnya) dan saya keluar dari kekejian dan skandal mu’tazilah”  
Apa yang diutarakan al-Asy’ari sekaligus respon pada kelompok lain yang juga menganggap kelompok mereka paling benar padahal rasul tidak pernah fanatik dan tidak pernah mau menyalahkan orang lain.
Dari sinilah awal kali pelajaran moderat (jalan tengah) itu muncul menjadi ruh ajaran ahlusunnah waljam’ah yang kemudian banyak menyerap perhatian ulama’ besar untuk ikut bergabung.

Aswaja Sebagai Manhaj Alfikr

Aliran-aliran kelompok sufi inipun banyak masuk kebebrapa negara, melewati para pedagang dan muballigh yang tidak ikut-ikutan politik aswaja inipun masuk keindonesia melalui tang pedagang dari gujarat dan india yang mayoritas mereka tersebut dalam beragama menganut faham sunni dan lebih mengedepankan nilai ketuhanan dan pengtauhidan dari pada proses pelaksaan ibadah sebagai tuntunan dan ajaran (baca: proses penyebaran ala wali songo).

Di-Indonesia pada mulanya satu-satunya organisasi yang secara resmi sebagai pengikut aswaja ada Nahdlatul ’Ulama’, yaitu aliran keagamaan yang dalam undang-undang dasarnya (Qonun Asyasi) dalam pemikiran theolgi mengikuti kelompok asy’ariyah dan abu mansur al-mathuridi, dalam pandangan tasawuf mengikuti Imam Ahmad al-ghazali dan Junaed al-baghdadi serta memilih dan mengikuti salah satu dari madzhab empat syafi’i, hambali, maliki dan imam abu hanifah.
Pemilihan aswaja sebagai ideologi tunggal membuat NU kaku dan satgnan dalam menghadapi setiap perubahan, aswaja yang sebetulnya luas dirasa sempit penafsirannya oleh sebagaian pemikir NU muda, diantaranya Sa’id Ageil Syiraj dan beberapa anak muda NU yang tergabung dalam organisasi pemikiran lainnya.
Hingga akhirnya muncullah gagasan aswaja seharusnya mampu menjadi nadi pemikiran NU dalam setiap totalitas kehidupannya, yang tidak hanya di-implementasikan dalam wilayah ubudiyah dan ketuhanan saja, tetapi seharusnya aswaja mampu menjadi metode nalar berfikir masyarakat nahdliyyin dalam berekonomi, berbudaya dan berpolitik (manhaj al-fikr).
Karena selama ini banyak kelompok yang menyatakan diri mereka sebagai ahlisunnah wal jam’ah mengingat begitu global dan luasnya ajaran rasul dan sahabat, maka dibutuhkan sebuah formulasi  memaknai aswaja yang tepat dan benar-benar sesuai dengan sunnah rasul.
Dari sini muncul beberapa rumusan prinsip dasar aswaja yaitu: pertamaTasamuh (toleran) toleran adalah sikap menghargai eksistensi dan potensi orang lain baik dalam beragama, budaya, ekonomi. secara sosial nabi dan para selalu menghargai perasaan orang lain (QS: al-fatah.29). kedua Tawasut (moderat) sebagian diantara perilaku rasul dalam pranata sosial adalah bertindak bijaksana dalam menghadapi siapapun, dengan lebih terdahulu mengetahui titik persoalan maka ia tahu keputuasan apa yang harus ia keluarkan demi terciptanya suasana yang lebih baik. Ketiga ‘adalah (adil) yaitu sikap tegas dan tidak pandang bulu untuk menentukan sebuah keputusan sebagaimana sabda beliau idza jaa al-haqu waa zahaqa al-bhatilu (ketika datang kebenar maka musnahlah kebathilan). Ke-empat Tawazun (seimbang) yaitu sikap seimbang dalam berperilaku. Seimbang antara mendahulukan permasalahan dunia dan akhirat, kepentingan individu dan sosial, kepentingan kepada allah dan kepada manusia dan seterusnya. Kelima Tawathur (dinamis) yaitu seluruh totalitas perilaku yang dikerjakan harus bertujuan terciptannya dinamisasi sosial, bagaimana tindakan yang dikerjakan setidaknya dapat menghapus adanya pertentangan karena ada yang  merasa dilecehkan, dirugikan merasa terhina dalam diri masyarakat ataupun individu. Dan yang terakhir adalah Amar ma’ruf nahi mungkar apapun yang dilakukan oleh rasul dalam tanda kutip kesabaran, kekerasan, adil dan sebagainya merupakan sebuah strategi dakwah dengan cara hikmah demi terciptanya stabilitas sosial.

Aswaja Dan Problematika Umat
Sebagai ajaran normatif (bersifat keyakinan instrumental) acapkalai aswaja hanya dijadikan sebagai bahan diskusi para intelektual dan tidak digunakan sebagaimana fungsinya yang subtantif yaitu sebagai pencerahan bagi masyarakat min adl-dlulumat ila an-nur yakni sebagai solusi dalam setiap problem yang dihadapi masyarakat (baca fungsi diturunkannya al-qur’an Q:S. Ibrahim:1)
Allah mengutus rasul untuk menyempurnakan ahlaq, sebagai media dan instrumen untuk menyampaikannya kepada masyarakat jahiliyah allah menurunkan alqur’an sebagai tuntunan dan ilmu bagaimana rasul untuk mengubah peradaban jahiliyah.
Mengacu pada hasil survei oraganisasi buruh internasional (ILLO) bahwa ada sekitar 2,4 juta anak terpaksa harus putus sekolah, dan memilih untuk penghidupan dengan bekerja dibeberapa pabrik. Disisi lain, pendidikan sebagai elan vital perkembangan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat makin sulit dijangkau oleh masyarakat miskin, hal ini lebih dikarenakan terbatasannya finansial yang mereka miliki sebagai danpak meningkatnya biaya pendidikan yang makin meninggi.(Eko Prasetyo:orang miskin dilarang sekolah, 2004).

Belajar dari sini setidaknya prinsip dasar aswaja dapat difungsikan sebagai spirit untuk mengeluarkan manusia dari bentuk penjajahan intelektual (pembodohan) yang diakibatkan oleh adanya diskriminasi pendidikan yang dapat dinikmati oleh mereka yang kaya, serta tidak terealisasinya dana 20% untuk pendidikan sebagai upaya  untuk peningkatan mutu pendidikan indonesia yang minim fasilitas, maka dengan terciptanya masyarakat yang berpendidikan karena seluruh masyarakat dapat mengenyam pendidika tampa adanya diskriminasi ekonomi tujuan terciptanya masyarakat yang dinamis akan tercipta (at-tawatur)
*Mantan ketua Umum PMII tarbiyah KOMBES sunan Ampel Cab Surabaya

Pengurus Cabang Tahun Wingi lan sakniki Gussss 

No comments:
Write comments