Antroposentrisasi Aswaja Sebagai Manhaj
Al-Fikrin Munuju Masyarakat Ramah Kultur dan Berpendidikan
Oleh: Achmad Junaidi
Secara definitif aswaja memiliki makna yang yang mudah untuk dipahamai,
yaitu kelompok yang dalam kesehariannya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
rasul dan perilaku ibadah baik ritual atau sosial yang dicontohkan oleh para
sahabat. Namun karena kompleksitas dan globalnya ajaran yang ada, membuat makna
aswaja menjadi universal dan membuka diri pada setiap kelompok manapun untuk
mengaku bahwa ia adalah aliran Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Pada dasarnya terminologi aswaja pada awal penyebaran Islam tidak
begitu banyak mendapat perhatian para
pemikir islam, mereka (para tokoh fiqih, tauhid dan penguasa Islam) lebih
banyak membuat kelompok agama dalam bentuk kelompok politik sebagai imbas
tragedi tahkim (arbitrase pemutusan hukum siapa yang berhak menjadi khalifah
antara Ali dan Muawiyah).
Lambat laun, kemudian kelompok-kelompok politik ini pun tidak jarang
mamakai terminologi agama dan hadist sebagai instrumen untuk saling
memperebutkan kekuasaan, tidak jarang diantara mereka saling mengkafirkan dan
berani memakai hadist dha’aif bahkan palsu untuk mengokohkan kekuatan politik
mereka (sebagaimana yang dilakukan kelompok syi’ah pengikut Ali yang
mengeluarkan hadist bahwa Allah salah menurunkan wahyu kepada Muhammad
sesungguhnya wahyu itu pantas untuk Ali yang cerdas).
Disisi lain ada kelompok pinggiran (kelompok sufi yang tidak ikut
konflik politik) dan selalu intens mengadakan pengkajian dan diskusi keagamaan
secara serius dan menjadi kelompok filsafat ketuhanan (teologi), diantara
mereka adalah kelompok nisbiyyah (kelompok
yang menyamakan tuhan dengan mahluk), qadariyah
(kelompok yang berpendapat bahwa seluruh totalitas kehidupan manusia ada
ditangan tuhan) serta kelompok jabariyah
(yaitu kelompok yang berpendapat terlepasnya kekuasaan tuhan akan tindak
perilaku kehidupan manusia) dari ketiga golongan ini muncul satu kelompok
pemikiran rasional yang kemudian mashur dan besar yaitu kelompok Mu’tazilah
kelompok yang lebih mengedepankan akal dari pada wahyu yang di pelopori oleh
Washil bin Ato’ dan Al-juba’i.
Kelompok mu’tazilah ini dapat mengambil hati para penguasa Bani Umayah
karena kebrilianan gagasan dan intelektual mereka, namun beberapa gagasan
rasional yang mereka keluarkan acapkali melebihi batas hingga akhirnya
menyebabkan Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324 H/ 873-935 M) seorang santri
al-jubai’i dan penganut mu’tazilah menyatakan keluar dan membuat kelompok baru,
yaitu kelompok yang mengikuti hadit dan sunah rasul serta jejak para sahabat.
Atas petunjuk rasul yang menemuinya lewat mimpi berturut selama tiga kali ia
akhirnya menyatakan keluar dari mu’tazilah dan naik keatas mimbar dan
berpendapat bahwa alqur’an adalah kalamullah dan mahluk:
“Saya dulu mengatakan al-qur’an adalah mahluk, Allah
tidak dapat dilihat dengan pandangan mata orang mukmin diakhirat dan perbuatan
jahat adalah perbuatan saya sendiri, saya lemparkan keyakinan lama saya
sebagaimana saya lemparkan baju ini (isyarat pada jubahnya) dan saya keluar
dari kekejian dan skandal mu’tazilah”
Apa yang diutarakan al-Asy’ari sekaligus respon pada kelompok lain yang
juga menganggap kelompok mereka paling benar padahal rasul tidak pernah fanatik
dan tidak pernah mau menyalahkan orang lain.
Dari sinilah awal kali pelajaran moderat (jalan tengah) itu muncul
menjadi ruh ajaran ahlusunnah waljam’ah yang kemudian banyak menyerap perhatian
ulama’ besar untuk ikut bergabung.
Aswaja Sebagai Manhaj Alfikr
Aliran-aliran kelompok sufi inipun banyak masuk kebebrapa negara, melewati para pedagang dan muballigh yang tidak ikut-ikutan politik aswaja inipun masuk keindonesia melalui tang pedagang dari gujarat dan india yang mayoritas mereka tersebut dalam beragama menganut faham sunni dan lebih mengedepankan nilai ketuhanan dan pengtauhidan dari pada proses pelaksaan ibadah sebagai tuntunan dan ajaran (baca: proses penyebaran ala wali songo).
Di-Indonesia pada mulanya satu-satunya organisasi yang secara resmi sebagai pengikut aswaja ada Nahdlatul ’Ulama’, yaitu aliran keagamaan yang dalam undang-undang dasarnya (Qonun Asyasi) dalam pemikiran theolgi mengikuti kelompok asy’ariyah dan abu mansur al-mathuridi, dalam pandangan tasawuf mengikuti Imam Ahmad al-ghazali dan Junaed al-baghdadi serta memilih dan mengikuti salah satu dari madzhab empat syafi’i, hambali, maliki dan imam abu hanifah.
Pemilihan aswaja sebagai ideologi tunggal membuat NU kaku dan satgnan
dalam menghadapi setiap perubahan, aswaja yang sebetulnya luas dirasa sempit
penafsirannya oleh sebagaian pemikir NU muda, diantaranya Sa’id Ageil Syiraj
dan beberapa anak muda NU yang tergabung dalam organisasi pemikiran lainnya.
Hingga akhirnya muncullah gagasan aswaja seharusnya mampu menjadi nadi
pemikiran NU dalam setiap totalitas kehidupannya, yang tidak hanya
di-implementasikan dalam wilayah ubudiyah dan ketuhanan saja, tetapi seharusnya
aswaja mampu menjadi metode nalar berfikir masyarakat nahdliyyin dalam berekonomi,
berbudaya dan berpolitik (manhaj al-fikr).
Karena selama ini
banyak kelompok yang menyatakan diri mereka sebagai ahlisunnah wal jam’ah
mengingat begitu global dan luasnya ajaran rasul dan sahabat, maka dibutuhkan
sebuah formulasi memaknai aswaja yang tepat
dan benar-benar sesuai dengan sunnah rasul.
Dari sini muncul beberapa rumusan prinsip dasar aswaja
yaitu: pertamaTasamuh (toleran) toleran
adalah sikap menghargai eksistensi dan potensi orang lain baik dalam beragama,
budaya, ekonomi. secara sosial nabi dan para selalu menghargai perasaan orang
lain (QS: al-fatah.29). kedua Tawasut (moderat) sebagian diantara perilaku rasul dalam pranata sosial
adalah bertindak bijaksana dalam menghadapi siapapun, dengan lebih terdahulu
mengetahui titik persoalan maka ia tahu keputuasan apa yang harus ia keluarkan
demi terciptanya suasana yang lebih baik. Ketiga
‘adalah (adil) yaitu sikap tegas dan tidak pandang bulu untuk menentukan
sebuah keputusan sebagaimana sabda beliau idza
jaa al-haqu waa zahaqa al-bhatilu (ketika datang kebenar maka musnahlah
kebathilan). Ke-empat Tawazun (seimbang) yaitu sikap seimbang dalam berperilaku. Seimbang antara
mendahulukan permasalahan dunia dan akhirat, kepentingan individu dan sosial,
kepentingan kepada allah dan kepada manusia dan seterusnya. Kelima Tawathur (dinamis) yaitu seluruh totalitas
perilaku yang dikerjakan harus
bertujuan terciptannya dinamisasi sosial, bagaimana tindakan yang dikerjakan
setidaknya dapat menghapus adanya pertentangan karena ada yang merasa dilecehkan, dirugikan merasa terhina
dalam diri masyarakat ataupun individu. Dan yang terakhir adalah Amar
ma’ruf nahi mungkar apapun yang dilakukan oleh rasul dalam tanda kutip
kesabaran, kekerasan, adil dan sebagainya merupakan sebuah strategi dakwah
dengan cara hikmah demi terciptanya stabilitas sosial.
Aswaja Dan Problematika Umat
Sebagai
ajaran normatif (bersifat keyakinan instrumental) acapkalai aswaja hanya
dijadikan sebagai bahan diskusi para intelektual dan tidak digunakan
sebagaimana fungsinya yang subtantif yaitu sebagai pencerahan bagi masyarakat min adl-dlulumat ila an-nur yakni
sebagai solusi dalam setiap problem yang dihadapi masyarakat (baca fungsi
diturunkannya al-qur’an Q:S. Ibrahim:1)
Allah
mengutus rasul untuk menyempurnakan ahlaq, sebagai media dan instrumen untuk
menyampaikannya kepada masyarakat jahiliyah allah menurunkan alqur’an sebagai
tuntunan dan ilmu bagaimana rasul untuk mengubah peradaban jahiliyah.
Mengacu
pada hasil survei oraganisasi buruh internasional (ILLO) bahwa ada sekitar 2,4
juta anak terpaksa harus putus sekolah, dan memilih untuk penghidupan dengan
bekerja dibeberapa pabrik. Disisi lain, pendidikan sebagai elan vital
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat makin sulit dijangkau oleh
masyarakat miskin, hal ini lebih dikarenakan terbatasannya finansial yang
mereka miliki sebagai danpak meningkatnya biaya pendidikan yang makin
meninggi.(Eko Prasetyo:orang miskin dilarang sekolah, 2004).
Belajar dari sini setidaknya prinsip dasar aswaja dapat difungsikan sebagai spirit untuk mengeluarkan manusia dari bentuk penjajahan intelektual (pembodohan) yang diakibatkan oleh adanya diskriminasi pendidikan yang dapat dinikmati oleh mereka yang kaya, serta tidak terealisasinya dana 20% untuk pendidikan sebagai upaya untuk peningkatan mutu pendidikan indonesia yang minim fasilitas, maka dengan terciptanya masyarakat yang berpendidikan karena seluruh masyarakat dapat mengenyam pendidika tampa adanya diskriminasi ekonomi tujuan terciptanya masyarakat yang dinamis akan tercipta (at-tawatur)
*Mantan ketua Umum PMII tarbiyah KOMBES sunan Ampel Cab
Surabaya
Pengurus Cabang Tahun Wingi lan sakniki Gussss
No comments:
Write comments